Kamis, 10 Juli 2014

pacoa jara (pacuan kuda}


taji-jaraDATANG ke Bima berarti harus meluangkan waktu menonton Pacuan kuda. Lupakan Khayalan tentang hotel mewah dan spa. Langsung saja menengok kekayaan adat dan budaya  di Kabupaten paling timur yang terletak di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ini.
Maka, bersiaplah memacu adrenalin. Terjebak dalam kepulan debu, menangkap kibaran warna-warni pakaian joki, pun derap puluhan kaki kuda. Joki cilik beraksi sambil menggerakkan pecut di tangan. Tampil berani, hanya dengan pengamanan sangat minim. Tanpa helm, tanpa pelana dan tanpa alas kaki. Alamiah, menyatu bersama denyut dan dengus napas kuda pacuan.
Pacuan Kuda dan joki cilik merupakan satu dari sekian banyak agenda wisata andalan Bima. Sangat diminati penduduk lokal, juga wisatawan dalam dan luar negeri. Pasukan berkuda ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Dahsyat, mempertontonkan keahlian joki-joki cilik. Rata-rata usia mereka tak lebih dari 10 tahun. Gagah sekaligus mengundang cemas.
Terik matahari tak menyurutkan langkah penonton. Termasuk di suatu siang, di lapangan pacuan kuda yang terletak di Desa Sambina’e. Satu aba-aba — tanda perlombaan dimulai — segera disambut hamburan debu. Joki cilik membungkukkan badan mengikuti irama kaki kuda, memukulkan cemeti untuk memacu laju, sambil menjaga keseimbangan di atas punggung kuda.
Beberapa kali penonton terpekik menyaksikan aksi sikut dan tubruk para joki. Kuda sengaja didekatkan hingga bersinggungan dengan kuda lain. Tujuannya memang menghalangi laju lawan. Sesekali mereka kehilangan keseimbangan, melorot ke samping, namun dengan sigap kembali ke posisi semula.
JOKI CILIK
KEAHLIAN yang diperoleh para joki cilik bukannya tanpa kerja keras. Rata-rata sedari usia tiga tahun sudah diberikan latihan. Awalnya hanya pelajaran menjaga keseimbangan di atas bambu yang kedua ujungnya digantung di tiang atas rumah. Setelah itu berlanjut ke kuda tunggang, baru kemudian berlatih mengendarai kuda pacu.
Helmin, salah satu joki cilik yang namanya tengah naik daun mengaku sudah berlatih sejak usia empat tahun. Menjadi joki merupakan cita-cita yang lahir dari keinginannya sendiri. Sebuah profesi bergengsi bagi anak-anak bahkan sebuah keluarga di Bima dan Pulau Sumbawa. Hingga tahun ini, puluhan pertandingan sudah ia ikuti. Beberapakali dia melaju menjadi pemenang, mendapat hadiah sejumlah uang hingga sepeda motor.
Rata-rata joki cilik bisa mengikuti pertandingan sekitar lima kali dalam setahun. Mereka memburu jadwal pertandingan, mengejar target. Maklum, saat memasuki usia 11 tahun, biasanya selesai sudah kariernya. Karena itu, perburuan jadwal pertandingan tidak hanya di Bima, tapi juga di kota-kota lain di Pulau Sumbawa. Datang bersama orang tua, pembina klub dengan menggunakan truk besar, membawa kuda. Kemudian berkemah di tanah kosong yang ada di sekitar lapangan pacuan.
Namun, segagah apapun tampilan di lapangan, mereka tetaplah anak kecil. Ada yang menangis saat kalah bertarung atau ketika ada bagian tubuh yang terluka karena jatuh atau berbenturan dengan kuda dan joki lain. Setelah sakit reda, mereka kembali bersemangat. Bagi mereka, profesi joki sangat bergengsi. Bisa bersenang-senang, berlaga dan membuat bangga keluarga. Juga menghasilkan uang yang bisa digunakan untuk membantu orang tua atau ditabung sendiri untuk keperluan sekolah.
Sayang, potensi mereka dalam berkuda harus selesai di usia rata-rata 11 tahun. Sayang juga potensi itu belum dilirik sebagai aset Nasional, dalam arti untuk mengembangkan dan lebih mengharumkan lagi nama bangsa lewat olahraga berkuda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar